Salah Memahami Makna Agama


Di sedang penduduk beredar kaidah-kaidah yang mereka jadikan acuan di didalam beragama. Padahal kaidah-kaidah tersebut tidak tersedia asalnya berasal dari para salafus shalih

dan para ulama Ahlussunnah. Terlebih ulang kaidah-kaidah ini membawa masalah dan bertentangan bersama dengan bersama dengan syariat.

Diantaranya adalah kaidah-kaidah tersebut ini, yang secara lazim merupakan kaidah yang batil dan keliru. Walaupun memang, kaidah-kaidah ini sanggup dimaknai benar bersama dengan

dengan syarat dan ketentuan khusus.

Kaidah: "kita tolong-menolong di didalam perkara yang kami sepakati, dan kami saling berikan udzur di didalam perkara yang kami perselisihkan" Jelas kaidah ini keliru,

bertentangan bersama dengan bersama dengan firman Allah:

"saling tolong menolonglah di didalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong mendukung di didalam dosa dan pelanggaran" (QS. Al Maidah: 2).

Ayat ini menyatakan bagwa tolong mendukung itu bukan di didalam perkara yang disepakati oleh manusia, tetapi di didalam kebaikan dan ketaatan. Jika sekelompok orang setuju

melaksanakan bid’ah, maka tetap tidak boleh tolong-menolong di didalam kebid’ahan. Kaidah di atas termasuk bertentangan bersama dengan bersama dengan firman Allah:

"Jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), kecuali kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59)

Maka di didalam perkara yang kami perselisihkan, sikap yang benar bukan berikan saling berikan udzur, tetapi kami ulang kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadikan dalil sebagai

kata pemutus. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan:

"Kaidah: kami bersatu di didalam perkara yang kami sepakati, dan kami saling berikan udzur di didalam perkara yang kami perselisihkan. Ini tidak ragu ulang adalah

perkataan yang batil. Wajib bagi kami semua untuk bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Perkara yang kami perselisihkan, kami kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah

Rasul, bukan jadi kami saling bertoleransi dan melepaskan tetap terhadap perbedaan. Bahkan yang benar adalah kami kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat

yang bersesuaikan bersama dengan bersama dengan kebenaran, kami ambil, pendapat yang tidak benar maka kami tinggalkan. Itulah yang wajib bagi kita, bukan melepaskan umat tetap terhadap

perselisihan" (Syarah Ushul As Sittah, hal. 20-21).

Namun, kaidah di atas sanggup jadi benar kecuali yang dimaksud adalah perkara yang ulama ijma (sepakat) itu disyariatkan, maka sebenarnya benar kami hendaknya saling-

menolong. Juga kecuali yang dimaksud adalah perkara khilafiyah ijtihadiyyah saaighah, maka sebenarnya benar kami hendaknya saling berikan udzur. Ibnu Hashar menyatakan

suatu kaidah penting:

"Tidak semua khilafiyah itu dianggap, tetapi yang dianggap khilafiyah adalah yang membawa aspek pendalilan yang benar".

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: "Ada banyak masalah yang para ulama berlapang dada di didalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena tersedia

sebagian pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar terhadap dalil yang shahih atau terhadap kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka di didalam masalah

yang seperti ini, tidak boleh kami menganggap orang yang berpegang terhadap pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai pakar bid’ah, atau menuduhnya

berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan harusnya kami mentoleransi tiap tiap pendapat selama bersandar terhadap dalil shahih, walau kami menganggap pendapat yang

kita pegang itu lebih tepat". (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Kaidah: "lihat apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang berkata" Yang benar, di didalam masalah dunia dan lebih ulang di didalam masalah agama, kami wajib selektif dan

perhatikan bersama dengan bersama dengan baik siapa yang berkata? Allah ta’ala berfirman:

"Dan sungguh Allah udah turunkan kapabilitas kepada kamu di di didalam Al Quran bahwa jikalau kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh

orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, supaya mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sebenarnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu

sama bersama dengan bersama dengan mereka. Sesungguhnya Allah sanggup menyatukan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di di didalam Jahannam" (QS. An Nisa: 140).

Ayat ini melarang duduk-duduk di majelis orang yang buruk. Maka artinya, wajib selektif memilih majelis. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam termasuk bersabda:

"Diantara isyarat kiamat adalah orang-orang menuntut ilmu berasal dari al ashaghir (ahlul bid’ah)" (HR. Ibnul Mubarak di didalam Az Zuhd [2/316], Al Lalikai di didalam

Syarah Ushulus Sunnah [1/230], dihasankan Al Albani di didalam Silsilah Ash Shahihah [695]).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mewanti-wanti terhadap ahlul bid’ah yang jadi pengajar. Maka ini menyatakan wajib selektif di didalam mengambil ilmu.

Demikian termasuk masalah dunia, wajib dicermati siapa yang mengatakannya. Allah ta’ala berfirman:

"Wahai orang- orang yang beriman, kecuali tersedia seorang faasiq singgah kepada kalian bersama dengan bersama dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah

(telitilah dulu), supaya jangan hingga kalian menimpakan suatu bahaya terhadap suatu kaum atas basic kebodohan, sehabis itu pada akhirnya kalian jadi menyesal atas

perlakuan kalian" (QS. Al-Hujurat: 6).

Maka menyadari kelirunya kaidah di atas. Namun kaidah di atas sanggup benar, kecuali di bawakan di didalam bab "menerima kebenaran". Jika suatu perkataan udah

tersampaikan, entah disengaja atau tanpa sengaja sampainya, dan itu bersesuaian bersama dengan bersama dengan kebenaran, maka wajib diterima barang siapa yang mengatakannya. Sebagaimana

hadits Abu Hurairah yang membawa kabar berasal dari setan tetapi dibenarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,

Setan berkata, "Biarkan mengajarimu suatu kalimat yang sanggup berfaedah untukmu". Abu Hurairah bertanya, "Apa itu?" Setan pun menjawab, "Jika engkau hendak tidur,

bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum‘ hingga selesai. Maka Allah sanggup tetap menjagamu dan setan tidak sanggup mendekatimu hingga pagi

hari". Abu Hurairah berkata, "Aku pun melepaskan diri setan tersebut. Dan saat pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan padaku, "Apa yang

dijalankan oleh tawananmu semalam?". Abu Hurairah menjawab, "Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri faedah padaku

terkecuali membacanya. Sehingga aku pun melepaskan dirinya". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apa kalimat tersebut?" Abu Hurairah menjawab, "Ia menyatakan

padaku, kecuali aku hendak tidur hendaknya membaca ayat kursi hingga selesai, yaitu ayat ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia menyatakan padaku

bahwa Allah sanggup tetap menjagaku dan setan pun tidak sanggup mendekatimu hingga pagi hari. Dan dahulu para rekan akrab adalah orang-orang yang paling dorongan di

dalam jalankan kebaikan". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, "Dia (setan) udah menyatakan kebenaran, walau asalnya dia adalah makhluk yang banyak

berdusta. Engkau menyadari siapa yang berbicara padamu di didalam tiga malam kemarin, wahai Abu Hurairah?". Abu Hurairah menjawab: "Tidak tahu". Nabi shallallahu ‘alaihi

wa sallam berkata, "Dia adalah setan." (HR. Bukhari no. 2311).

Perkataan setan tetap dibenarkan kecuali sebenarnya bersesuaian bersama dengan bersama dengan kebenaran. Dan pastinya untuk menilai suatu perkataan itu  bersesuaian bersama dengan bersama dengan

kebenaran atau tidak, ini wajib ilmu. Bukan bersama dengan bersama dengan analisis baik atau perasaan.

Kaidah: "ambil baiknya, mengikis buruknya" Kaidah ini termasuk bertentangan bersama dengan bersama dengan dalil-dalil di poin kedua di atas mengenai wajibnya selektif di didalam melacak

kebenaran dan melacak ilmu. Bukan ambil berasal dari sembarang orang lalu jadi sanggup mengambil baiknya dan mengikis buruknya.

Kaidah ini termasuk bertentangan bersama dengan bersama dengan akal sehat. Karena bagaimana sanggup saja pencari kebenaran dan penuntut ilmu menyadari mana yang baik dan mana

yang buruk, padahal dia baru saja berharap belajar dan mencari?! Padahal menyadari mana yang baik dan mana yang jelek wajib kepada ilmu.

Namun kaidah ini sanggup benar kecuali diterapkan terhadap orang yang mayoritasnya baik dan di atas kebenaran tetapi dia tergelincir terhadap beberapa kekeliruan. Seperti

disaat berguru terhadap seorang ulama yang berpegang terhadap sunnah dan akidah yang lurus. Maka pasti saja ulama sebagaimana manusia biasa, ia tidak sempurna, kadang kala

tersedia kekurangan di didalam dirinya bersifat beberapa akhlak yang jelek atau lainnya. Maka di sini baru diterapkan, "ambil baiknya, mengikis buruknya". Rasulullah

Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

"Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik" (HR. Ibnu Hibban 94). didalam riwayat lain:

"Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali kecuali terkena hadd" (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani di didalam Ash

Shahihah, 638).


https://www.codecademy.com/profiles/yukristen
https://www.codecademy.com/profiles/bersamakristus

https://www.au-e.com/site/ubai.web.id
https://www.keyword-rank.com/site/yukampus.com
https://www.keyword-rank.com/site/yukinternet.com

No comments for "Salah Memahami Makna Agama"